Pagi itu, di ujung Trotoar
Kau bisikan mesra di telinga ku,
“Apa yang kau utarakan wahai jemari dungu?, tak pantas rangkain aksaramu tersemat di ruang karya. Semua yang Kau utarankan absurd bagi Ku, sudahlah cepat Kau sebrangi trotoar ini lalu kembalilah ke pangkuan Ibumu”
Dengan mudah Kau utarakan itu pada ku, seolah tak ada beban di rongga-rongga mulut liarmu
Raga Ku kaku memucat, seolah jemari terserang virus yang berasal dari mulut liarmu
Beberapa menit berlalu,
Kau masih dalam posisimu yang angkuh
Membuat darah menekan Rongga-rongga mulutKu, seloh memaksa melontar kata
“Sungguh, Ku benari bahwa karyaku tak pantas tersemat di ruang karya. Tapi Aku mohon jaga Mulut liarmu, jangan sampai terlepas dari kandang kewajaran. Aku terima semua, aku akan sebrangi dan kembali ke pangkuan Ibuku. Aku kira itu lebih baik bagiKu”
Susana terhentak,
Trotoar itu telah mengajarkan ku banyak hal, Termasuk cara menghadapi mulut liar.
Ini memang zona keras...............
biarkan aku pergi, jemari ku masih mampu bergerak di ruas jalan yang lain
(Panaragan, 29 Maret 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar