:Untuk orang yang telah menanam pohon di halaman rumahku
Sudiary,
Dulu, Aku hanya pujangga yang tak kuasa hidup di ruang karya. Ruangnya para pujangga hebat
Dulu, Aku hanya bisa berlisan dari pintu ke pintu untuk mengajak orang-orang agar ikut serta membakar jwaku yang mulai rapuh di grogoti mulut liar di pinggir trotoar.
Dulu, Aku sering menjelma menjadi anak sekolah dasar disaat membaca karya-karya jemariku yang nampak kumuh dengan debu-debu jalanan.
Dulu, sesekaliku melepas pena sejenakdari genggamanku, bermaksud untuk merentangkan jemari yang kaku dan mengeringkan air lelah yang membasahi telapak tangan seakan lembab dibuatnya.
Tapi, suatu remang di persimpangan jalan.
Masihkah Kau ingat?
Sat itu Kau membawa secangkir the hangat, sambil tersenyum Kau membisik disela gendang telingaku
“ Wahai pujangga, terima kasih atas semua karya yang Kau kirim ke halaman rumahku. Kau telah mengukir sebuah jalan menuju sebuah ruang yang kau tuju selama ini. Genggamlah akrab pena itu, tetaplah diruang karya. Yakinlah karyamu pasti bisa mengembangkan senyum bagi penghuni ruang itu. jikalau kau tak yakin, bagaimana dengan orang lain??semua yang kau rasa bermula darimu. Minumlah the hangat ini, semoga bisa meredakan dahaga”
Sungguh, Aku terkejut. Ini pertama kali Kau lakukan
Sekejap saja, apa yang Kau lontarkan langsung membaur pada lubuk dalam dada
Lalu terucaplah sepatah kata pada lisan,
“Baiklah Sudiary, Hari sudah petang. Puisi ini akan ku lanjutkan esok hari, dan Kau kembalilah ke rumahmu sebelum gelap tiba.”
Kau pun mengajak kaki kecilmu pergi,
Ini memang cerita lama, jauh sebelum jemari bangkit kembali
Tapi ini telah tepatri di lubuk dalam dadaku,
Terima kasih atas perananmu dalam secarik kisah yang menggugat hati dalam hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar