Selasa, 13 April 2010

SASTRA DAN KOMITMEN SOSIAL

Apa alasan yang mendasari seorang sastrawan memunculkan kritik satu kondisi sosial melalui karya sastra dengan ‘pesimistik’? Jawabannya satu, kekecewaan terhadap realita yang terjadi. Sebuah social disorder.

Kekecewaan semacam ini dapat dikatakan sebagai stress yang merupakan ekses negatif dari kondisi objektif yang telah ditelan kecerdasan subjektifnya yang kemudian direspons sebagai produk gagal kebudayaan. Stress ini lahir dari kondisi yang memaksa, di mana das sollen sebagai expected condition yang adalah realitas ideal tidak menemukan equilibrium dengan das sein sebagai the objective reality yang merupakan realitas faktual empiris.

Kritik karya sastra terhadap realita merupakan format lain dari sebuah kepedulian sosial, bisa dikatakan bahwa sastra yang berusaha menyajikan kegetiran sosial yang dimunculkan di dalamnya merupakan sebuah tindak sosial (social act) yang menjadi muara kecil dari komitmen sosial (social commitment) seorang sastrawan. Hanya memang terdapat perbedaan pada persoalan komitmen sosial serta tindak sosial. Sekadar cacatan kecil, bahwa komitmen sosial sifatnya lebih subtil-ruhiyah, sehingga tak tampak atau tak terdeteksi secara indrawi pada diri manusia. Sementara tindak sosial terkadang hanya bisa berupa lip service, sesuatu yang manipulatif, atau menipu karena sifatnya yang terdeteksi indra manusia dengan mudah sehingga tindak sosial yang dilakukan terkadang disertai sifat ‘Riya’.

Sastra adalah media proklamasi proses pikir, yang sedikit banyak akan membuka dirinya pada konteks budaya secara dinamis serta ritual-ritual sosial yang turut membidani kelahirannya. Sastra yang ditulis adalah materi solid dari tindak sosial yang lahir dari komitmen seorang sastrawan yang dijadikan arsip budaya untuk dijadikan konstituen kecil dari semesta kebudayaan massa. Adalah Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Pramoedya, Rendra, beberapa dari sekian sastrawan yang telah menunjukkan hal tersebut.

Karya sastra (baca: puisi) bukan sekadar permainan logika yang simulatif, bukan pula area manuver stilistika dari seorang penyair, tapi lebih dari itu--sastra adalah pesawahan subur yang dijadikan tempat tumbuhnya realitas ideal yang kadang tidak diperlakukan adil di dunia realitas faktual empiris. Karena itu konsep social act yang merupakan konkretisasi dari social commitment seorang penyair, dipertaruhkan dalam kondisi yang sebenarnya. Benarkah ide (yang sangat egosentris) ada di atas segalanya? Kenapa ide selalu berbenturan dengan ‘materi’ bernama kepentingan praktis di ranah realita sosial? Tampaknya jawaban atas pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan objektivitas personal.

’Negeriku’ adalah sajak Lukman Asya yang berupaya mengongkretkan dual konsep dalam satu format teks, yakni religiusitas-kesadaran ketuhanan dan problem sosial.

Lukman memberi kesempatan kita untuk menarik citra subjektif ketika membaca sajak-sajaknya melalui narasi-narasi problem sosial yang ia munculkan sebagai tema yang diakulturasi dengan indentitas kepenyairannya yang lebih populer yang dinilai religius. Walau terkadang juga tak mudah bagi para pembaca sajaknya untuk langsung masuk ke ruang ide-tematik dari puisi-puisinya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar